”DISIPLIN GEREJA” APAKAH MENDIDIK ATAU KEKERASAN
(Tinjauan khusus
Pelaksanaan Disiplin Gereja di HKBP)
I. Pengantar
Undang-undang pornografi dan pornoaksi telah ditetapkan, dan dampaknya
menimbulkan gelombang protes dan demonstrasi dimana-mana. Kaum perempuan dan
kaum seniman serta kelompok-kelompok budaya dan aliran kepercayaan
mempertanyakan manfaat dan dampak dari
pemberlakukan undang-undang ini. Apakah undang-undang ini betul-betul akan membangun
kualitas dan moralitas bangsa ini kepada arah yang lebih baik atau
sebaliknya malah menghancurkan nilai-nilai budaya bangsa atau
bahkan kekerasan terhadap kaum perempuan. Mungkin tujuan dan
motivasinya adalah baik ”yaitu untuk
menjaga akhlak dan perilaku masyarakat
bangsa ini agar tidak melanggar
norma-norma kesusilaan ketimurannya atau bahkan untuk menghindari ” tersebarnya
penyakit masyarakat yang disebabkan oleh tontonan-tontotan atau
tayangan-tayangan dan sajian-sajian yang menggoda”. Akan tetapi
betulkah undang-undang ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk
menyelesaikan persoalan itu atau hanya akan menambah pelanggar-pelanggar baru
yang mengakibatkan penjara-penjara semakin penuh, rentetan persidangan dan
daftar antri persidangan yang semakin panjang,
yang membuat pekerjaan polisi dan hakim yang semakin banyak sementara
disisi lain kreatifitas seni dan berbagai nilai- tradisi kebudayaan semakin
luntur dan meragkak hilang.
Undang-undang dan peraturan sebagai perangkat
pendidikan menegakkan kedamaian dan ketenangan untuk menghilangkan keresahan dan kekuatiran
masyarakat pada mulanya bisa sangat baik
akan tetapi ini juga bisa menjadi sumber malapetaka. Dimana kekerasan sesungguhnya sedang
dipertontonkan secara terselubung. Bagaimana dengan aturan dan peraturan serta
aturan penggembalaan serta disiplin gereja? Apakah aturan dan peraturan
penggembalaan dan disiplin gereja ini juga mempunyai ”nilai-nilai kekerasan?”
Bagi
sebagian jemaat, pelaksanaan disiplin gereja itu dianggap sebagai tindakan
kekerasan dan anarkhis gereja kepada jemaat. Dengan dalih menjaga kesucian dan
kekudusan gereja, gereja seenaknya mengekskomunikasi jemaat yang bersalah tanpa
pernah peduli kepada pergumulan jemaatnya. Masih relevankah pelaksanaan hukum
siasat atau disiplin gereja itu bagi kehidupan gereja?
II. Pelaksanaan Disipilin
Gereja Proses Pembelajaran atau
Kekerasan
Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, sebagian
jemaat memahami bahwa tindakan gereja menjatuhkan
disiplin kepada jemaatnya adalah sebagai tindakan kesewenang-wenangan dan
kekerasan gereja terhadap jemaat. Tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan gereja terhadap jemaatnya karena berbagai
pertimbangan khususnya Gereja sebagai insitusi yang menawarkan kasih dan
pengampunan serta penyelamatan jiwa-jiwa.
Akan tetapi disisi lain, banyak
juga jemaat mengganggap bahwa tindakan itu sebagai tindakan yang seharusnya
memang harus diambil gereja untuk menjaga persekutuannya agar tetap kudus
sebagaimana yang diharapkan kesaksian iman kita.
Dibawah ini kami akan menggangkat beberapa kasus
pelaksanaan disiplin gereja di HKBP yaitu kasus yang pernah kami alami sendiri,
yang kemudian berakses kepada ”protes” jemaat kepada gereja:
Kasus I : ”Seorang
Jemaat Yang Terkena RPP[1]
Karena Menjadi Imam (Suhu) Acara Penyembahan Penguasa Bukit Pusuk Buhit”
Kejadian ini terjadi pada tahun 2003 di desa Limbong,
Kec. Sianjurmula-mula, kab. Samosir, ketika itu kami melayani sebagai pendeta
praktek. Kejadiannya bermula ketika ada rencana beberapa tokoh-tokoh dari
Jakarta datang ke Samosir untuk mengadakan permohonan doa dan penyembahan
“kepada Penguasa dan Penjaga Pusuk Buhit” untuk mendukung dan memenangkan
mereka di dalam Pemilu 2004. Demi mensukseskan rencana ini, maka tokoh-tokoh
itu menghubungi seorang Tokoh Adat sekaligus Tokoh Masyarakat yang cukup
terkenal dan diakui di Limbong yaitu Bapak PDL (nama diinisialkan, demi menjaga
kerahasiaanya). Bapak PDL ini adalah
juga warga jemaat HKBP. Acara doa dan
penyembahan ini disebut “Gondang
Dudu”. Isu rencana acara permohonan doa
itu semakin santer dan sampai ketengah-tengah gereja. Setelah Gereja mengetahui
bahwa Bapak PDL diminta untuk menjadi Imam (suhu) di dalam acara ini, maka
gereja melakukan kunjungan pastoral untuk meminta dan mengingatkan bapak PDL, untuk
tidak menerima tawaran itu karena ,
hal-hal yang demikian sudah tidak lagi baik untuk dilaksanakan, dan pelaksanaan
acara-acara yang seperti itu sangat rawan godaan, jemaat-jemaat yang masih
“tipis imannya” pasti akan sangat mudah terserap kembali kepada kenyakinan lama.
Gereja menentang praktek-praktek yang demikian karena hanya membawa jemaat
untuk kembali terjerumus di dalam penyembahan roh-roh. Akan tetapi di hari H
acara tersebut tepatnya pada saat itu hari Minggu. Ditengah-tengah sedang
berlangsungnya acara kebaktian di gereja. Acara penyembahan dan permohonan doa
untuk dukungan itupun dilaksanakan di “Lokasi Batu Hobon”[2]. Acara Penyembahan ini dipimpin Bapak PDL tadi.
Akhirnya, Banyak jemaat yang tidak pergi
ke gereja karena menghadiri acara doa dan penyembahan terseut. Banyak diantara
mereka yang terlibat di acara tersebut, baik
langsung atau tidak langsung.
Sejak peristiwa itulah maka gereja di dalam rapat majelis memutuskan
memanggil Bapak PDL tadi ke Konsistori Gereja untuk menjelaskan tindakan yang sudah dilakukan.
Akan tetapi panggilan itu tidak direspon dengan baik. Selanjutnya Majelis
mengutus penatua sektornya bersama dengan pendeta untuk menanyakan sikap atas perbuatannya, akan
tetapi Bapak PDL tidak mengaku salah bahkan mereka (bersama dengan keluarga)
menantang gereja. Akhinya rapat majelis menetapkan keputusannya untuk
menjatuhkan disiplin gereja kepada Bapak PDL dan beberapa orang jemaat yang
ikut berperan aktif di acara tersebut.
Konflik terjadi ketika keluarga jemaat tersebut yang sebagiannya
adalah jemaat Roma Katolik protes dan
mengadakan demonstrasi ke gereja atas disiplin gereja yang telah dijalankan
kepada orang tua mereka. Mereka tidak mau
tahu apa yang sudah dilakukan gereja sebelum disiplin itu dijatuhkan serta apa
yang akan dilakukan gereja setelah disiplin itu dijatuhkan. Yang mereka tahu
adalah bahwa orangtua mereka dan beberapa keluarga mereka dijatuhi disiplin
gereja. Mereka mengatakan bahwa gereja
tidak berhak mengenakan disiplin gereja terhadap orangtua mereka karena
orangtua mereka adalah salah satu tokoh di desa itu dan seorang yang berperan
besar di dalam pembangunan gereja di Limbong. Dengan kata lain dengan
pelaksanaan disiplin ini berarti gereja tidak menghargai orangtua mereka Mereka
mengganggap ini sebagai tindakan kekerasan gereja kepada jemaat. Pendeta dan
penatua dianggap anarkhis atas kuasa yang dipercayakan kepada mereka.
Kasus II : Pemberkatan Pernikahan
Batal Dilaksanakan di Gereja – Mempelai Wanita Telah Hamil 4 Bulan.
Peristiwa ini terjadi 2 tahun yang lalu di salah satu
Gereja dimana kami pernah melayani sebagai Pendeta Muda. Anak seorang jemaat
yang selama ini kerja di Jawa balik ke Medan untuk liburan akhir tahun dan
bersama-sama dengan gadis pilihannya ia merencanakan pernikahan. Bersama dengan
orangtuanya, Ia datang ke Gereja untuk menyampaikan permohonan pelayanan
pemberkatannya. Rencana di sepakati dan tanggal-tanggal konseling pranikah
ditentukan. Selain itu tanggal “partumpolon”
(ikat janji) dan tanggal pernikahannya
juga disepakati. Dengan kesepakatan
itu maka pihak keluarga juga mulai membuat dan menjalankan undangan.
Pada awalnya semuanya berjalan dengan baik, beberapa kali
pertemuan untuk konseling sebelum partumpolan
juga terlaksana dengan baik. Akan tetapi persoalan mulai muncul ketika ibadah partumpolon (ibadah ikat janji) sedang terlaksana. Ibu-ibu
jemaat mulai gelisah dan ribut, menurut mereka calon pengantin wanita telah
hamil. Ketika ibadah selesai, ibu-ibu tadi datang menghadap pendeta yang
melayankan ibadah tadi dan memberitahukan pendapat mereka tentang kehamilan
dari calon mempelai wanita tersebut. Isu itu semakin santer dan keberatan
jemaat mulai bermunculan.
Di dalam konseling pranikah berikutnya pendeta menanyakan
kebenaran dari isu-isu itu. Akan tetapi di dalam konseling itu kedua calomn
mempelai menyangkal isu-isu itu dan mereka berusaha untuk menutup-nutupi
realitas yang terjadi. Pendeta muda kemudian memohonkan katerlibatan pendeta
sendior untuk membantu mengadakan konselingterhadap kedua calon mempelai itu.
Pendeta senior kemudian memanggil calon pengantin wanita ke rumah untuk dikonseling
oleh ibu pendeta, sementara pendeta senior itu mengajak calon mempelai pria ke
ruang konsistori. Dari dua percakapan inilah terbongkar bahwa memang mereka
sudah melakukan hubungan suami istri sebelum
menikah dan calon pengantin wanita memang sudah hamil 4 bulan.
Dengan pengakuan ini, pendeta kemudian mengundang majelis
untuk mengadakan rapat menentukan sikap gereja terhadap status kedua calon
mempelai. Hari berikutnya, Gereja memanggil kedua orangtua dari mempelai dan
menjelaskan RPP HKBP kepada mereka tentang aturan pelayanan gereja kepada
jemaat yang melakukan perzinahan (hubungan seksual sebelum menikah) dan bentuk
pelayanan yang bisa dilakukan gereja. Gereja memutuskan untuk tidak melaksanakan
pelayanan pemberkatan pernikahan mereka di gereja, gereja menyarankan supaya
pernikahannya dilaksanakan di rumah saja oleh Raja, atau Tokoh Adat atau oleh
Penatua. RPP HKBP menyebut ini dengan istilah ”pasu-pasu raja”. Pada awalnya,
pihak orangtua kedua calon mempelai dan
kedua mempelai sangat keberatan dengan
keputusan gereja itu. Akan tetapi setelah gereja menjelaskan sedemikian rupa
mereka bisa menerima konsekwensi perbuatan kedua calon mempelai. Perubahan
terjadi ketika mereka pulang dan menceritakan keputusan gereja itu kepada
keluarga besar dan penilaian baru mulai mengeruak. Dengan berbagai dalih mereka
mengganggap gereja terlalu kuno dengan peraturannya. Keluarga mengganggap
gereja itu sebagai institusi yang kuno dan pelaku kekerasan terhadap jemaat.
Dengan perasaaan yang demikian keluarga mulai memprovokasi jemaat lainnya untuk
mulai memburuk-burukkan gereja. Dalam hal ini jemaat pun terbagi dua, ada yang
setuju dengan keputusan gereja akan tetapi tidak kurang juga yang menentang gereja. Pertanyaan yang muncul, benarkah
pelaksanaan disiplin gereja itu merupakan perbuatan kekerasan?
Selain kedua kasus diatas, sesungguhnya masih banyak kasus-kasus lain
dimana disiplin gereja itu dipertanyakan.
III. Analisis Kritis Terhadap Pelaksanaan Disiplin
Ditengah-tengah Gereja
1. Pengertian Disiplin Gereja
Pertama-tama mesti diutarakan bahwa, kata disiplin secara harafiah tidak dijumpai
pada Perjanjian Lama juga dalam Perjanjian Baru. Kita akan percuma mencari-cari
kata itu di dalam macam-macam konkordansi Alkitab. Namun demikian pengertian
disiplin sangatlah jelas di dalam
Alkitab, pada Perjanjian Lama sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang
menyekitari bangsa Israel, terutama
dengan hukum taurat, sedang di dalam
Perjanjian Baru kita melihat satu
pergeseran motivasi disiplin itu, dimana Yesus yang membawa kepenuhan
Kerajaan Allah memberikan interpretasi dan penghayatan yang benar akan
amar-amar Allah yang telah terkandung sepenuhnya di dalam Perjanjian Lama.[3]
Bahasa latin “discipulus” (disciplina) artinya :
pelajaran, ajaran, sekolah, pegertian, ilmu, aturan, penguasaan diri, kelakuan,
dsb. Orang yang terdidik disebut disciplimatusi; sedang bagian-bagian pelajaran
disebut disiplin-disiplin (disciplinabiliter). Ini menunjukkan bahwa Sitz im
leben pengertian disiplin adalah sekolah atau pendidikan. Mendidik untuk
tujuanyang baik, untuk menaati beberapa aturan yang lama kelamaan menjadi darah
daging mereka sehingga setiap mereka dibekali dan terdidik dan dapat memberikan
sumbangsih untuk memajukan orang lain.
Disiplin (Discipline) yang
seakar kata “disciple” (murid) pada dasarnya berarti pengajaran. Tetapi kemudian kata ini lajim dipakai adalam arti : 1).
latihan moral atau latihan mental spiritual; 2). Ketaatan kepada peraturan atau tata tertip; 3)
penghukuman. Di dalam lingkungan gereja, disiplin umumnya diartikan sebagai keseluruhan peraturan dan kebiasaan yang berlaku di dalam gereja guna menjaga
kesucian dan kehidupan spritual warganya dengan melakukan hukuman
terhadap warga/jemaat yang melanggar
peraturan dan ajaran-ajaran gereja itu.
Kuasa untuk menjalankan disiplin itu
biasanya didasarkan atas tiga hal : (1). Tabiat gereja itu sebagai
suatu persekutuan yang terpilih dan yang mempunyai buku
peraturan yang tersendiri. (2). Perintah
Yesus Kristus sebagai kepala gereja. (3). Ajaran-ajaran Rasuli dan
tradisi-tradisi yang dihasilkan gereja pada jaman rasuli.[4] Secara khusus, Menurut Calvin disiplin bagi
kehidupan gereja adalah sebagai obat yang dapat mencegah pengrusakan yang
berat. Menurutnya tujuan disiplin gereja itu ada tiga rangkap yakni memelihara gereja untuk tetap dalam kondisi
yang suci, melindungi warganya terhadap noda, dan membimbing orang-orang
berdosa untuk menyesali kejahatan mereka
lalu bertobat.[5]
Calvin menyatakan bahwa sebagaimana pengajaran adalah merupakan jiwa gereja
maka disiplin adalah urat-uratnya.
Gereja
sebagai suatu persekutuan yang suci dan yang dipercayakan untuk memelihara kebenaran, dituntut untuk membersihkan diri dari segala
unsur yang bisa merusak dan mencemari kesuciannya. Dan dari segala hal yang bisa
menghambat segala kegiatannya dalam membina warganya dan dalam bersaksi
ditengah-tengah dunia ini. Karena itu dalam hubungnnya dengan warga yang
melakukan pelanggaran. Disiplin gereja itu dimaksudkan : pertama, untuk mengembalikan orang yang melanggar itu dari
jalannya yang sesat atau dari kehidupan
yang najis, sehingga jika dimungkinkan jiwanya bisa diselamatkan. Kedua, melepaskan dirinya dari tubuh
Kristus, yakni dengan tidak mengikutkan dirinya lagi dalam seluruh partisipasi
dan berkat yang menguntungkan dalam gereja itu. Dengan kata lain hukuman yang
dikenakan kepada seseorang warga yang bersalah adalah dimaksudkan untuk
memperbaiki dan memperbaharui
kehidupannya. Sekaligus untuk menghindarkan bahaya penularan dari dosa yang dilakukannya kepada gereja itu sendiri.[6]
2. Gereja HKBP dengan Aturan Penggembalaan dan Disiplin
Gerejanya
Sejak tahun 1952 , HKBP
telah memiliki Aturan pengembalaan dan Disiplin Gereja, akan tetapi pada saat
itu Aturan Pengembalaan dan disiplin Gereja ini masih hanya sebatas aturan
siasat Gereja (Hukum Siasat Gereja). Karena pada saat itu Hukum Siasat Gereja
ditujukan hanya untuk menghakimi jemaat yang masih mau mengikuti
tradisi-tradisi ”hasipelebeguon” (suatu istilah yang ditujukan kepada para
penyembah roh-roh nenek moyang), atau yang mempercayai agama-agama lain selain
Kristen Protestan dan lain-lain. Gereja menjalankan RPP ini sebagai tindak
tegas kepada jemaat yang mencemari dirinya dengan kebiasaan-kebiasan yang tidak
sesuai dengan yang diinginkan gereja pada saat itu.
Di dalam perjalanannya RPP ini dipandang tidak lagi
sesuai dengan pergumulan gereja, persebaran jemaat semakin luas dan
persoalan-persoalan yang dihadapi pun semakin beragam, oleh karena itu RPP
dipandang perlu untuk ditinjau ulang. Sinode Agung tahun 1984 merekomendasikan pembentukan satu komisi RPP
untuk meninjau ulang dan menyempurnakan konsep-konsep RPP yang pada saat itu
sudah mulai tidak up to date kepada pergumulan gereja. Komisi ini sendiri
beranggotakan unsur Praeses, unsur Pendeta, unsur Guru Jemaat, Bibelvrow dan unsur Sintua (Majelis jemaat).
Penyempurnaan itu sendiri menggunakan buku atau Aturan Pengembalaan dan
Disiplin Gereja yang lama, Konsep Aturan
Pengembalaan dan Disiplin Gereja Tahun 1976 , keputusan-keputusan Seminar
Hukum Siasat Gereja-Gereja se-Sumatra Utara pada tahun 1982, Aturan dan
Peraturan HKBP 1982 – 1992 demikian juga usul-usul dari Ressort-ressort yang
telah dikumpulkan di Sinode Agung, usul-usul dari Rapat Pendeta Distrik sampai Rapat Pendeta tahun 1983 dan 1985 dan beberapa
hasil dari diskusi yang dilakukan oleh
komisi ini di 4 tempat pelayanan yang dianggab mewakili tempat-tempat lainnya
yaitu Sibolga, Sidikalang, Medan dan Jakarta.
Hasil dari rapat-rapat komisi RPP ini kemudian
menghasilkan sesuatu yang baru dimana aturan yang tadinya hanyalah sebatas
Hukum Siasat Gereja dirubah menjadi
Aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja (Ruhut-ruhut Parmahanion dohot
Paminsangon di HKBP). Perubahan ini
ditujukan supaya supaya aturan-aturan disiplin gereja itu tidak hanya lagi
sebatas Hukum Siasat (vonis terhadap kesalahan dan pelanggaran
jemaat) akan tetapi menjadi aturan untuk pengembalaan untuk pengajaran, serta
pemulihan persoalan-persoalan dan pergumulan jemaat. Hasil rumusan komisi ini kemudian dibawa kembali ke
rapat komisi yang terakhir di STT HKBP Pematang Siantar pada tanggal 16 – 17
Januari 1987 sebelum dibawa ke Sinode
Agung HKBP tahun 1987 konsep ini kemudian diterima dan akhirnya ditetapkan di
Rapat Pendeta Hatopan 1987, setelah disosialisasikan di rapat-rapat pendeta
distrik tahun itu juga.[7] Ini
masih perjalanan awal dari aturan penggembalan
dan disiplin gereja. dan ini masih dalam
kaitan perubahan nama. Perubahan ke arah penyempurnaan pun terus berlanjut. Dengan
pemahaman bahwa di jaman sekarang RPP itu bukan lagi hanya sebatas disiplin
gereja, melainkan juga mencakup pengembalaan jemaat yang tidak hanya digunakan
hanya sebatas sesudah jemaat itu dikenakan sanksi gerejani maka RPP diharapkan
juga bisa hadir di dalam mendidik jemaat memahami pergumulan rohani dan iman
jemaat yang mampu menjawab persoalan jaman ini. Pada tahun ...............HKBP
kembali mengangkat Tim RPP untuk kembali meninjau ulang demi penyempurnaan RPP
sehingga RPP HKBP semakin up to date untuk menjawab pergumulan-pergumulan
jemaat.
Menangkap kesempatan ini pulalah maka Tim RPP HKBP
yang diangkat dan dipersiapkan untuk Rapat Pendeta HKBP 2003 mengeluarkan ide
penyempurnaan yang baru dengan menekankan:[8]
a. Mempertegas fungsi dari RPP itu sendiri demi mencegah pengertian
yang menekankan penghukuman, akan tetapi
sebaliknya RPP haruslah lebih mengarah kepada penekanan fungsi pembinaan
(panogunoguon), Pengarahan (sijagahonohon) dan tegurannya (Sipaingothon).
Jadi fungsi Penghukuman (Paminsangon)
dan pengeluaran (Pabalihonon) nya
menjadi unsur yang terakhir.
b. RPP juga hendaknya memuat ketentuan menyangkut kasus-kasus aktual.
Dan sebaliknya tentang kesalahan-kesalahan yang seharusnya dikenakan disiplin
gereja sebaiknya disederhanakan.
Dengan pembaharuan dan penyempurnaan-penyempurnaan
ini maka RPP yang pada awalnya cenderung menjadi ”media dan organ kekerasan
terhadap umat” telah menjadi ”media pendidikan dan pengetahuan” jemaat,
sekurangnya menurut penulis sendiri. Akan tetapi itu juga dikembalikan kepada
pelaksana RPP itu, bagaimana hamba-hamba
Tuhan memakai dan menerapkan RPP itu ditengah-tengah jemaat. Apakah majelis
itu memakai RPP itu untuk mengajar dan mendidik jemaatnya, jauh sebelum jemaat
itu menyimpang dari kebenaran imannya sehingga kedamaian bisa terjadi. Atau
sebaliknya, RPP itu digunakan hanya setelah jemaat itu melanggar atau melakukan
sesuatu perbuatan yang menyimpang dari ajaran gereja itu sehingga hanya
kekerasanlah yang dimunculkan!
Persoalan yang muncul adalah ketika jemaat itu sendiri tidak mengenal baik
point-point Aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja tersebut. Apa yang diperkenankan dan apa yang
diharapakan untuk dijauhi.
3. Analisis
Kritis Terhadap Pelaksanaan Disiplin
Gereja HKBP mempunyai aturan dan peraturan tersendiri di
dalam pengembalaan dan pelaksanaan disiplin gerejanya. Aturan penggembalaan dan
disiplin gereja ini sering disebut dengan istilah RPP (Ruhut-ruhut Parmahanion
dohot Paminsangon) artinya Aturan-aturan untuk Penggembalaan dan Disiplin
Gereja. Aturan-aturan ini sengaja dibuat
untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di dalam praktek kehidupan iman
jemaat. Aturan-aturan yang dibuat untuk
menjaga kekudusan persekutuan jemaat. Sebagaimana Kristus yang kudus, Tuhan
juga menginginkan agar gerejanya juga
menjaga kekudusannya. Dengan tujuan yang sangat mulia ini sebenarnya aturan
penggembalaan dan disiplin gereja itu adalah sangat baik akan tetapi di dalam
kenyataannya masih banyak jemaat yang mengganggap bahwa disiplin gereja itu
adalah sebuah beban bahkan sumber konflik dan ”senjata kekerasan” gereja
terhadap jemaat. Benarkah demikian?
Pendapat demikian bisa saja muncul, karena di dalam prakteknya seringkali
gereja memakai RPP ini hanya untuk menghukum jemaat yang melanggar tanpa
mengadakan tindakan penggembalaan yang baik sebelumnya atau sesudahnya.
Seringkali juga gereja atau para penatua memakai RPP ini untuk menyingkirkan
jemaat lainnya. Atau bahkan seringkali pelaksanaan RPP malah menimbulkan
konflik baru ditengah-tengah jemaat bahkan sampai kepada perpecahan jemaat
Di mata jemaat bahkan
kaum rohaniawan HKBP, fungsi dan peranan serta pelaksaaan RPP HKBP ini bisa
beragam dan bermacam-macam. Banyak jemaat yang
menganggab RPP itu sebagai undang-undang yang diaturkan untuk menghukum jemaat
yang melanggar berbagai penjelasan-penjelasan yang ada di dalamnya,
terlebih-lebih kalau dikaji dengan istilah ”dipabali” yaitu istilah yang dulu
paling sering digunakan untuk orang yang dijatuhi RPP. Dipabali berarti
”dikeluarkan” dari persekutuan dengan konsekwensinya tidak boleh menerima
sakramen demikian juga beberapa pelayanan khusus lainnya. Jemaat-jemaat tua
yang tidak mengikuti perkembangan dan penyempurnaan RPP itu sendiri akan selalu
berpikir dengan menempatkan RPP itu sebagai hukuman atau senjata untuk
menghakimi dan menghukum para terdakwa (jemaatnya yang melanggar)[9].
Di sisi lain ada juga jemaat yang
merasa bahwa pelaksanaan RPP itu berlebihan, seolah-olah gereja tidak
mempunyai kasih dan pengampunan, suatu tindakan saling mempermalukan dan
memperbesar-besar dosa dan kesalahan. Pemikiran ini sah-sah saja,
terlebih-lebih kalau kita melihat bahwa sumber keberatan dan protes itu berasal
dari orang-orang yang berada di luar gereja atau dari jemaat yang memang kurang
memberi perhatiannya ke gereja. Akan tetapi kita juga tidak menutup kemungkinan
terhadap kebanaran yang terkandung dari protes dan keberatan itu. Terkadang gereja juga terlalu cepat
melakukan keputusan untuk melakukan disiplin gereja kepada seseorang jemaat
yang dianggab bersalah tanpa ada
pelayanan pengembalaan sebelumnya.
Ada beberapa hal yang sering terjadi di dalam menjalakan
RPP, dalam kaitannya dengan
praktek-praktek kekerasan:[10]
a.
Ketika majelis atau
Hamba Tuhan yang menjalankan RPP itu
kurang memberikan dirinya dan hatinya sebagai
gembala untuk memperbaiki dan
memulihkan rohani orang yang melakukan
kesalahan itu, akan tetapi sebaliknya ia hadir sebagai hakim yang menjatuhkan
hukuman saja maka disitu kita akan menemukan kekerasan karena sesungguhnya RPP
itu ditujukan untuk menggembalakan orang-orang yang bersalah sehingga kembali
ke jalan yang benar.
b.
Ketika RPP itu
dijatuhkan dengan seenaknya saja tanpa pertimbangan akan bukti-bukti yang cukup
dan matang, maka disitupun sedang terjadi kekerasan. Seharusnya keputusan
diambil tidak hanya berdasarkan isu-isu atau kata-kata orang saja melainkan
juga mempertimbangkan keterangan langsung dari pelanggar, dan bukti-bukti
akurat lainnya.
c.
Ketika RPP itu
dijalankan dengan tidak adil,
pilih-pilih kasih, maka disitupun sedang terjadi pratek-praktek
kekerasan. RPP harus diberlakukan secara
sama dan adil kepada setiap jemaat tanpa harus membedabedakan apakah itu
keluarga, anggota keluarga atau kerabat dekat.
d.
Kekerasan lain yang
boleh muncul adalah ketika RPP dipakai sebagai alat untuk membalas dendam atau
untuk mempermalukan orang lain. Orang yang sudah jatuh ke dalam dosa itu
janganlah kiranya ditambahkan lagi dengan beban yang berat, dengan sengaja
mempermalukan mereka atau merendahkan harga dirinya.
e.
Kekerasan lainnya
yang seringkali muncul adalah kurangnya pengembalaan dan pembinaan lanjutan
kepada orang yang telah dijatuhi hukuman siasat gereja itu. Seringkali majelis
atau hamba Tuhan yang menjalankan hukum siasat gereja itu lupa akan fungsi RPP
lainnya yaitu untuk pengembalaan jemaat.
Akan tetapi kejadian-kejadian itu tidak perlu terjadi kalau orang-orang
yang menjalankan RPP itu bersikap bijaksana dan arif di dalam menerapkan aturan
penggembaalaan dan disiplin gereja tersebut karena sesungguhnya memang RPP itu
dibuat dengan maksud dan tujuan yang baik. Di dalamnya terkandung makna kedamaian
yang sangat mendalam dimana penyadaran dan keselamatan sedang diperjuangkan
untuk membawa kembali orang yang bersalah itu menyadari kesalahannya serta
membuat keputusan untuk kembali kepada kebenaran Tuhan dan berani
bertanggungjawab untuk segala kesalahannya.
Dengan RPP sesungguhnya gereja bisa berperan aktif
memberikan pengajaran dan pembelajaran kepada jemaat terhadap dampak dan
konsekwensi segala perbuatan kita.
Dengan aturan pengembalaan dan disiplin gereja ini, Gereja bisa lebih
baik mengkomunikasikan dirinya sebagai institusi yang menjaga ketertiban hidup
jemaat, sehingga jemaat tidak lagi berbuat sesuka hatinya saja. RPP dengan
sendiri akan memagari tingkah laku dan perbuatan jemaat sehingga jemaat hidup
dan berperilaku sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.
Ketika Gereja mengaturkan disiplin gereja dengan berbagai penggembalaan
sebelum dan sesudahnya maka jemaat bisa mengetahui banyak tentang apa yang baik
dan bisa dilakukan dengan apa yang tidak baik yang harus dihindari. Dengan
demikian setiap jemaat dimampukan untuk mengawasi dirinya sendiri.
IV. Refleksi
Kita akui atau tidak, gereja sebagaimana juga agama sering
sekali mengekspresikan atau mengandung kekerasan, gereja bahkan berpotensi
untuk melakukan keduanya, berpotensi untuk menjaga dan menegakan kedamaian akan
tetapi juga berpotensi menjadi pelaku-pelaku kekerasan.[11] Potensi ini telah
terjadi berkali-kali di dalam sejarah gereja. Gereja di dalam sejarahnya telah
berkali-kali salah di dalam menerapkan disiplin dan aturannya sehingga telah
menimbulkan korban. Masih segar di dalam ingatan kita bagaimana para
tokoh-tokoh “yang memprotes kemapanan gereja” menerima inkuisisi (pengucilan)
dari gereja formal yang berkuasa pada saat itu,
bahkan kecenderugan untuk “dilenyapkan”. Masih juga kita bisa
mendengarkan dan menyaksikan di berbagai tempat ada penatua – penatua atau hamba Tuhan tertentu
yang harus dipecat dan dipensiunkan dari tugasnya hanya karena peraturan
gereja, meskipun kerinduan mereka untuk melayani Tuhan masih menggebu-gebu.
Melaksanakan disiplin, bagi gereja itu sama seperti memakan buah
simalakama, “dijalankan dengan tegas dan benar” ada orang-orang yang keberatan
bahkan terkadang mengganggabnya sebagai kekerasan akan tetapi sebaliknya ”kalau
tidak dijalankan” berarti gereja itu membiarkan dosa itu tinggal dan menjalar
ditengah-tengah kehidupan jemaat. Dalam hal
inil gereja sangat diharapkan betul-betul bijaksana untuk memilah apa yang
layak untuk digembalakan dan apa yang layak untuk dikenakan disiplin (RPP).
Demikian juga dengan pemilihan bentuk penggembalaan dan disiplin yang akan
dilaksanakan. Gereja tidak lagi hadir
sebagai hakim akan tetapi sebagai Kristus yang hadir sebagai gembala yang menyembuhkan, memulihkan dan mendamaikan dan menyelamatkan demikianlah
kehadiran gereja ditengah-tengah dunia dan kehidupan jemaatnya. Kasih Karunia Allah di dalam Yesus Kristus
itu haruslah direspon gereja dengan baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Alan
Kreider, Eleanor Kreider dan Paulus Wijaya di dalam buku mereka “A Culture of Peace”:[12]
-
Allah telah
mengampuni kita, oleh karena itu kita juga terpanggil untuk hidup di dalam pengmpunan.
Sebagaimana yang dikatakan di dalam firman Tuhan “Ampunilah kami, seperti kami
telah mengampuni orang yan berdosa kepada kami” (Matius 6 : 12).
-
Allah telah
mendamaikan kita dengan Allah, oleh karena itu kita juga haruslah berdamai
dengan musuh-musuh kita. Dan kita juga haruslah membawa pelayanan perdamaian (2
Korintus 5 ; 18). Jadi pelayanan peerdamaian itu adalah satu bentuk pelayanan
harusnya dibawa gereja di dalam mengatasi segala pesoalan yang ada di jemaat.
-
Allah telah
memberikan DamaiNya kepada kita, oleh karena itu kita harus menjadi pembawa
damai. “berbahagilah orang-orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut
sebagai anak-anak Allah” (Matius 5 : 10)
Gereja sebagai
Pembawa Damai
Berkaitan peran Gereja sebagai Pembawa Damai, maka firman dan aturannya hendaknya jugalah
sebagai yang membawa damai................
Agama pada bentuk terbaiknya sesungguhnya memiliki kemampuan untuk meredakan,
mengusai dan menahan kecenderungan tindak kekerasan manusia
V. Rencana Teknis
Memahami apa yang menjadi pergumulan jemaat tentang pelaksanaan RPP
ditengah-tengah gereja maka kami melihat :
1. Pentingnya sosialisasi yang lebih banyak
dari pihak gereja apakah melalui warta atau buletin-buletin Gereja demikian
juga melalui Khotbah dan PWG atau Katekisasi.
VI. Kepustakaan
1. B.H. Situmorang, “Pengertian Disiplin Dalam
Perjanjian Baru” dalam Journal Pemikiran Teologi STT HKBP, Vocatio
Dei : Teologi dan Disiplin, Ed. 41 April
1996, STT HKBP,Pematang Siantar,
1996
2. David S.
Schaff, “ Discipline (Christian) “ dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia
of Religion and Ethics, Vol. IV, : Charles Scribner’s sons, New York , 1955.
3. Johanes
Calcin, Institutio, Pengajaran Agama
Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta
, 1985.
4. HKBP, Ruhut
Parmahanion Dohot Paminsangion di HKBP, Kantor Pusat HKBP, Pearaja Tarutung, ttp
5. Ahmad Norma
Permata, Agama dan Terorisme, Muhamadiyah University Press, Surakarta , 2005
6. HKBP , Notulen Rapat Pendeta Huria Kristen Batak
Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003, Kantor Pusat HKBP, Pearaja
Tarutung, 2003
7. Alan Kreider, Eleanor Kreider dan Paulus
Wijay, A Culture of Peace : God’s Vision
for The Church, Published in cooperation Mennonite World Conference :
Good Books, USA ,
2005
[1] RPP
adalah singkatan dari Ruhut-Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon, artinya adalah
Aturan-aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja di HKBP
[2] Lokasi Batu Hobon adalah satu lokasi yang
sering dijadikan tempat untuk acara-acara Hasipelebeguon. Di tempat it ada
sebuah batu yang ssangat unit dimana batu yang besar itu seolah-olah ada
penutupnya. Batu ini dimitoskan sebagai batu yang mempunyai ruang
ditengah-tengahnya tempat Tuan Saribu Raja dulu menyimpan perkakas-perkakasnya
yang sangat berharga sebelum ia meninggalkan tempat itu dan merantau ke negeri
yang jauh-jauh.
[3] B.H. Situmorang, “Pengertian Disiplin Dalam
Perjanjian Baru” dalam Journal Pemikiran
Teologi STT HKBP, Vocatio Dei : Teologi
dan Disiplin, Ed. 41 April 1996, (Pematang
Siantar : STT HKBP, 1996) hlm. 10
[4] David S. Schaff, “ Discipline (Christian)
“ dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol.
IV, (Nem York : Charles Scribner’s sons, 1955), hlm. 715
[5] Johanes Calcin, Institutio, Pengajaran Agama
Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985) hlm. 218.
[6] David S. Schaff, “ Discipline (Christian) “
dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion, hlm. 715.
[7] HKBP, Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangion di
HKBP, (Pearaja, Tarutung: HKBP, ttp), hlm. 5 – 6
[8] HKBP, Notulen Rapat Pendeta Huria Kristen Batak
Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003., hlm. 361 -362. Ide penyempurnaan ini kemudian disambut baik
oleh para peserta sinode dan di dalam rapat –rapat komisinya kemudian nyatalah
bahwa kerinduan untuk menjadikan media RPP sebagai media yang mendidik jemaat
semakin membaik. Peserta mengusulkan banyak topik-topik yang bersifat mendidik
untuk dimasukkan di dalam rumusan konsep RPP yang akan disempurnakan,
diantaranya adalah rumusan tentang
tanggapan gereja tentang hak-hak individu seperti : euthanasia,
transplantasi organ tubuh, cloning, demikian juga tanggapan terhadap
masalah-masalah yang berkaitan dengan penyakit-penyakit sosial seperti :
HIV/AIDS, pornografi, komersialisasi sex, judi dan lain-lain. Termasuk juga di
dalamnya usulan yang menekankan peran gereja sebagai intitusi yang mempunyai
tanggungjawab moral kepada pemerintah, pengusaha atau institusi tertentu atas
kebijakan dan kegiiatan ekonomi yang dapat merusak kehidupan masyarakat dan kesatuan bangsa ,
secara khusus menyangkut kerusakan lingkungan. Dalam rancangan konsep RPP
pembaruan in diharapkan gereja bisa berperan aktif untuk bisa lebih banyak lagi di dalam peran
pastoralnya bukanhanya untuk jemaatnya saja akantetapi juga pelayanan
pastoralnya keluar. Demikian juga di dalam kaitannya dengan adat dan budaya, gereja diharapkan bisa lebih jelas
melihat dampak sosial yang ditimbulkan sehingga gereja bisa lebih bijaksana
untuk menghadapi secara kasus per kasus.
Tidak
hanya sampai disitu, konsep RPP ini juga semakin memberikan penegasan kepada
berbagai kecenderungan yang mendorong manusia atau masyarakat untuk melakukan
perbuatan tercela diantaranya kecenderungan masyarakat yang materialisme, konsumerisme,
kapitalisme, Hedonisme, fatalisme dan perusakan lingkungan.
[9] Bnd. HKBP , Notulen Rapat Pendeta Huria
Kristen Batak Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003, (Pearaja Tarutung 2003), hlm.
120 - 121
[10] Bnd. HKBP, Ruhut
Parmahanion Dohot Paminsangion di
HKBP…,, hlm. 10
[11] Bnd. Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, (Surakarta : Muhamadiyah
University Press, 2005), hlm. 192.
[12] Alan Kreider, Eleanor Kreider dan
Paulus Wijay, A Culture of Peace : God’s Vision
for The Church, (USA
: Published in cooperation Mennonite World Conference : Good Books, 2005, )
hlm. 26