Makna Hidup

Hidup tidak hanya untuk menerima pemberian dari yang telah Tuhan sediakan,

tapi kita hidup juga perlu untuk menjaga apa yang telah Tuhan berikan, mengembangkannya dan berbagai dengan sesama

Rabu, 28 Juli 2010

MAKALAH KEKERASAN, PERDAMAIAN DAN IMAN KRISTEN


”DISIPLIN GEREJA” APAKAH MENDIDIK ATAU KEKERASAN
(Tinjauan khusus Pelaksanaan Disiplin Gereja di HKBP)


I. Pengantar
            Undang-undang pornografi dan pornoaksi telah ditetapkan, dan dampaknya menimbulkan gelombang protes dan demonstrasi dimana-mana. Kaum perempuan dan kaum seniman serta kelompok-kelompok budaya dan aliran kepercayaan mempertanyakan manfaat dan dampak  dari pemberlakukan undang-undang ini. Apakah undang-undang ini betul-betul akan  membangun  kualitas dan moralitas bangsa ini kepada arah yang lebih baik  atau  sebaliknya malah menghancurkan nilai-nilai budaya  bangsa atau  bahkan kekerasan terhadap kaum perempuan. Mungkin tujuan dan motivasinya  adalah baik ”yaitu untuk menjaga akhlak dan perilaku masyarakat  bangsa ini  agar tidak melanggar norma-norma kesusilaan ketimurannya atau bahkan untuk menghindari ” tersebarnya penyakit masyarakat yang disebabkan oleh tontonan-tontotan atau tayangan-tayangan dan sajian-sajian yang menggoda”.  Akan tetapi  betulkah undang-undang ini akan menjadi senjata yang ampuh untuk menyelesaikan persoalan itu atau hanya akan menambah pelanggar-pelanggar baru yang mengakibatkan penjara-penjara semakin penuh, rentetan persidangan dan daftar antri persidangan yang semakin panjang,  yang membuat pekerjaan polisi dan hakim yang semakin banyak sementara disisi lain kreatifitas seni dan berbagai nilai- tradisi kebudayaan semakin luntur dan meragkak hilang.
Undang-undang dan peraturan sebagai perangkat pendidikan menegakkan kedamaian dan ketenangan untuk  menghilangkan keresahan dan kekuatiran masyarakat  pada mulanya bisa sangat baik akan tetapi ini juga bisa menjadi sumber malapetaka.  Dimana kekerasan sesungguhnya sedang dipertontonkan secara terselubung. Bagaimana dengan aturan dan peraturan serta aturan penggembalaan serta disiplin gereja? Apakah aturan dan peraturan penggembalaan dan disiplin gereja ini juga mempunyai  ”nilai-nilai kekerasan?”
            Bagi sebagian jemaat, pelaksanaan disiplin gereja itu dianggap sebagai tindakan kekerasan dan anarkhis gereja kepada jemaat. Dengan dalih menjaga kesucian dan kekudusan gereja, gereja seenaknya mengekskomunikasi jemaat yang bersalah tanpa pernah peduli kepada pergumulan jemaatnya. Masih relevankah pelaksanaan hukum siasat atau disiplin gereja itu bagi kehidupan gereja?


II. Pelaksanaan Disipilin Gereja Proses Pembelajaran  atau Kekerasan

Sebagaimana yang telah diterangkan diatas, sebagian jemaat memahami bahwa  tindakan gereja menjatuhkan disiplin kepada jemaatnya adalah sebagai tindakan kesewenang-wenangan dan kekerasan gereja terhadap jemaat.  Tindakan yang seharusnya tidak dilakukan gereja terhadap jemaatnya karena berbagai pertimbangan khususnya Gereja sebagai insitusi yang menawarkan kasih dan pengampunan serta penyelamatan jiwa-jiwa.  Akan tetapi disisi lain,  banyak juga jemaat mengganggap bahwa tindakan itu sebagai tindakan yang seharusnya memang harus diambil gereja untuk menjaga persekutuannya agar tetap kudus sebagaimana yang diharapkan kesaksian iman kita.
Dibawah ini kami akan menggangkat beberapa kasus pelaksanaan disiplin gereja di HKBP yaitu kasus yang pernah kami alami sendiri, yang kemudian berakses kepada ”protes” jemaat kepada gereja:

Kasus I : ”Seorang Jemaat Yang Terkena RPP[1] Karena Menjadi Imam (Suhu) Acara Penyembahan Penguasa Bukit Pusuk Buhit”

Kejadian ini terjadi pada tahun 2003 di desa Limbong, Kec. Sianjurmula-mula, kab. Samosir, ketika itu kami melayani sebagai pendeta praktek. Kejadiannya bermula ketika ada rencana beberapa tokoh-tokoh dari Jakarta datang ke Samosir untuk mengadakan permohonan doa dan penyembahan “kepada Penguasa dan Penjaga Pusuk Buhit” untuk mendukung dan memenangkan mereka di dalam Pemilu 2004. Demi mensukseskan rencana ini, maka tokoh-tokoh itu menghubungi seorang Tokoh Adat sekaligus Tokoh Masyarakat yang cukup terkenal dan diakui di Limbong yaitu Bapak PDL (nama diinisialkan, demi menjaga kerahasiaanya).  Bapak PDL ini adalah juga warga jemaat HKBP.  Acara doa dan penyembahan ini disebut  “Gondang Dudu”.  Isu rencana acara permohonan doa itu semakin santer dan sampai ketengah-tengah gereja. Setelah Gereja mengetahui bahwa Bapak PDL diminta untuk menjadi Imam (suhu) di dalam acara ini, maka gereja melakukan kunjungan pastoral untuk meminta dan mengingatkan bapak PDL, untuk tidak  menerima tawaran itu karena , hal-hal yang demikian sudah tidak lagi baik untuk dilaksanakan, dan pelaksanaan acara-acara yang seperti itu sangat rawan godaan, jemaat-jemaat yang masih “tipis imannya” pasti akan sangat mudah terserap kembali kepada kenyakinan lama. Gereja menentang praktek-praktek yang demikian karena hanya membawa jemaat untuk kembali terjerumus di dalam penyembahan roh-roh. Akan tetapi di hari H acara tersebut tepatnya pada saat itu hari Minggu. Ditengah-tengah sedang berlangsungnya acara kebaktian di gereja. Acara penyembahan dan permohonan doa untuk dukungan itupun dilaksanakan di “Lokasi Batu Hobon”[2]. Acara Penyembahan ini dipimpin Bapak PDL tadi. Akhirnya, Banyak  jemaat yang tidak pergi ke gereja karena menghadiri acara doa dan penyembahan terseut. Banyak diantara mereka yang terlibat di acara tersebut, baik  langsung atau tidak langsung.
Sejak peristiwa itulah maka gereja di dalam rapat majelis memutuskan memanggil Bapak PDL tadi ke Konsistori Gereja untuk  menjelaskan tindakan yang sudah dilakukan. Akan tetapi panggilan itu tidak direspon dengan baik. Selanjutnya Majelis mengutus penatua sektornya bersama dengan pendeta untuk  menanyakan sikap atas perbuatannya, akan tetapi Bapak PDL tidak mengaku salah bahkan mereka (bersama dengan keluarga) menantang gereja. Akhinya rapat majelis menetapkan keputusannya untuk menjatuhkan disiplin gereja kepada Bapak PDL dan beberapa orang jemaat yang ikut berperan aktif di acara tersebut.
Konflik terjadi ketika keluarga jemaat tersebut yang sebagiannya adalah  jemaat Roma Katolik protes dan mengadakan demonstrasi ke gereja atas disiplin gereja yang telah dijalankan kepada orang tua mereka. Mereka tidak mau tahu apa yang sudah dilakukan gereja sebelum disiplin itu dijatuhkan serta apa yang akan dilakukan gereja setelah disiplin itu dijatuhkan. Yang mereka tahu adalah bahwa orangtua mereka dan beberapa keluarga mereka dijatuhi disiplin gereja. Mereka  mengatakan bahwa gereja tidak berhak mengenakan disiplin gereja terhadap orangtua mereka karena orangtua mereka adalah salah satu tokoh di desa itu dan seorang yang berperan besar di dalam pembangunan gereja di Limbong. Dengan kata lain dengan pelaksanaan disiplin ini berarti gereja tidak menghargai orangtua mereka Mereka mengganggap ini sebagai tindakan kekerasan gereja kepada jemaat. Pendeta dan penatua dianggap anarkhis atas kuasa yang dipercayakan kepada mereka.

Kasus II : Pemberkatan Pernikahan Batal Dilaksanakan di Gereja – Mempelai Wanita Telah Hamil 4 Bulan.
Peristiwa ini terjadi 2 tahun yang lalu di salah satu Gereja dimana kami pernah melayani sebagai Pendeta Muda. Anak seorang jemaat yang selama ini kerja di Jawa balik ke Medan untuk liburan akhir tahun dan bersama-sama dengan gadis pilihannya ia merencanakan pernikahan. Bersama dengan orangtuanya, Ia datang ke Gereja untuk menyampaikan permohonan pelayanan pemberkatannya. Rencana di sepakati dan tanggal-tanggal konseling pranikah ditentukan. Selain itu tanggal “partumpolon” (ikat janji) dan tanggal pernikahannya  juga disepakati. Dengan kesepakatan itu maka pihak keluarga juga mulai membuat dan menjalankan undangan.
Pada awalnya semuanya berjalan dengan baik, beberapa kali pertemuan untuk konseling sebelum partumpolan juga terlaksana dengan baik. Akan tetapi persoalan mulai muncul  ketika ibadah partumpolon   (ibadah ikat janji) sedang terlaksana. Ibu-ibu jemaat mulai gelisah dan ribut, menurut mereka calon pengantin wanita telah hamil. Ketika ibadah selesai, ibu-ibu tadi datang menghadap pendeta yang melayankan ibadah tadi dan memberitahukan pendapat mereka tentang kehamilan dari calon mempelai wanita tersebut. Isu itu semakin santer dan keberatan jemaat mulai bermunculan.
Di dalam konseling pranikah berikutnya pendeta menanyakan kebenaran dari isu-isu itu. Akan tetapi di dalam konseling itu kedua calomn mempelai menyangkal isu-isu itu dan mereka berusaha untuk menutup-nutupi realitas yang terjadi. Pendeta muda kemudian memohonkan katerlibatan pendeta sendior untuk membantu mengadakan konselingterhadap kedua calon mempelai itu. Pendeta senior kemudian memanggil calon pengantin wanita ke rumah untuk dikonseling oleh ibu pendeta, sementara pendeta senior itu mengajak calon mempelai pria ke ruang konsistori. Dari dua percakapan inilah terbongkar bahwa memang mereka sudah melakukan hubungan suami istri sebelum  menikah dan calon pengantin wanita memang sudah hamil 4 bulan.
Dengan pengakuan ini, pendeta kemudian mengundang majelis untuk mengadakan rapat menentukan sikap gereja terhadap status kedua calon mempelai. Hari berikutnya, Gereja memanggil kedua orangtua dari mempelai dan menjelaskan RPP HKBP kepada mereka tentang aturan pelayanan gereja kepada jemaat yang melakukan perzinahan (hubungan seksual sebelum menikah) dan bentuk pelayanan yang bisa dilakukan gereja. Gereja memutuskan untuk tidak melaksanakan pelayanan pemberkatan pernikahan mereka di gereja, gereja menyarankan supaya pernikahannya dilaksanakan di rumah saja oleh Raja, atau Tokoh Adat atau oleh Penatua. RPP HKBP menyebut ini dengan istilah ”pasu-pasu raja”. Pada awalnya, pihak orangtua kedua calon mempelai  dan kedua mempelai  sangat keberatan dengan keputusan gereja itu. Akan tetapi setelah gereja menjelaskan sedemikian rupa mereka bisa menerima konsekwensi perbuatan kedua calon mempelai. Perubahan terjadi ketika mereka pulang dan menceritakan keputusan gereja itu kepada keluarga besar dan penilaian baru mulai mengeruak. Dengan berbagai dalih mereka mengganggap gereja terlalu kuno dengan peraturannya. Keluarga mengganggap gereja itu sebagai institusi yang kuno dan pelaku kekerasan terhadap jemaat. Dengan perasaaan yang demikian keluarga mulai memprovokasi jemaat lainnya untuk mulai memburuk-burukkan gereja. Dalam hal ini jemaat pun terbagi dua, ada yang setuju dengan keputusan gereja akan tetapi tidak kurang juga yang menentang  gereja. Pertanyaan yang muncul, benarkah pelaksanaan disiplin gereja itu merupakan perbuatan kekerasan?
Selain kedua kasus diatas, sesungguhnya masih banyak kasus-kasus lain dimana disiplin gereja itu dipertanyakan.

III.  Analisis Kritis Terhadap Pelaksanaan Disiplin Ditengah-tengah Gereja

1.   Pengertian Disiplin Gereja
Pertama-tama mesti diutarakan bahwa, kata disiplin secara harafiah tidak dijumpai pada Perjanjian Lama juga dalam Perjanjian Baru. Kita akan percuma mencari-cari kata itu di dalam macam-macam konkordansi Alkitab. Namun demikian pengertian disiplin sangatlah jelas  di dalam Alkitab, pada Perjanjian Lama sangat erat kaitannya dengan hukum-hukum yang menyekitari  bangsa Israel, terutama dengan  hukum taurat, sedang di dalam Perjanjian Baru  kita melihat satu pergeseran  motivasi disiplin  itu, dimana Yesus yang membawa kepenuhan Kerajaan Allah memberikan interpretasi dan penghayatan yang benar akan amar-amar Allah yang telah terkandung sepenuhnya di dalam Perjanjian Lama.[3]
            Bahasa latin  “discipulus” (disciplina) artinya : pelajaran, ajaran, sekolah, pegertian, ilmu, aturan, penguasaan diri, kelakuan, dsb. Orang yang terdidik disebut disciplimatusi; sedang bagian-bagian pelajaran disebut disiplin-disiplin (disciplinabiliter). Ini menunjukkan bahwa Sitz im leben pengertian disiplin adalah sekolah atau pendidikan. Mendidik untuk tujuanyang baik, untuk menaati beberapa aturan yang lama kelamaan menjadi darah daging mereka sehingga setiap mereka dibekali dan terdidik dan dapat memberikan sumbangsih untuk memajukan orang lain.
            Disiplin (Discipline) yang seakar kata “disciple” (murid) pada dasarnya berarti pengajaran. Tetapi kemudian kata ini lajim dipakai adalam arti : 1). latihan moral atau latihan mental spiritual; 2). Ketaatan  kepada peraturan atau tata tertip; 3) penghukuman. Di dalam lingkungan gereja, disiplin  umumnya diartikan sebagai keseluruhan  peraturan dan kebiasaan  yang berlaku di dalam gereja guna menjaga kesucian  dan kehidupan  spritual warganya dengan melakukan hukuman terhadap warga/jemaat  yang melanggar peraturan  dan ajaran-ajaran gereja itu. Kuasa untuk menjalankan disiplin itu  biasanya didasarkan atas tiga hal : (1). Tabiat gereja itu sebagai suatu  persekutuan  yang terpilih dan yang mempunyai buku peraturan  yang tersendiri. (2). Perintah Yesus Kristus sebagai kepala gereja. (3). Ajaran-ajaran Rasuli dan tradisi-tradisi yang dihasilkan gereja pada jaman rasuli.[4]  Secara khusus, Menurut Calvin disiplin bagi kehidupan gereja adalah sebagai obat yang dapat mencegah pengrusakan yang berat. Menurutnya tujuan disiplin gereja itu ada tiga rangkap yakni  memelihara gereja untuk tetap dalam kondisi yang suci, melindungi warganya terhadap noda, dan membimbing orang-orang berdosa untuk menyesali  kejahatan mereka lalu bertobat.[5] Calvin menyatakan bahwa sebagaimana pengajaran adalah merupakan jiwa gereja maka disiplin adalah urat-uratnya.
            Gereja sebagai suatu persekutuan yang suci dan yang dipercayakan  untuk memelihara kebenaran,  dituntut untuk membersihkan diri dari segala unsur yang bisa merusak dan mencemari kesuciannya. Dan dari segala hal yang bisa menghambat segala kegiatannya dalam membina warganya dan dalam bersaksi ditengah-tengah dunia ini. Karena itu dalam hubungnnya dengan warga yang melakukan pelanggaran. Disiplin gereja itu dimaksudkan : pertama, untuk mengembalikan orang yang melanggar itu dari jalannya  yang sesat atau dari kehidupan yang najis, sehingga jika dimungkinkan jiwanya bisa diselamatkan. Kedua, melepaskan dirinya dari tubuh Kristus, yakni dengan tidak mengikutkan dirinya lagi dalam seluruh partisipasi dan berkat yang menguntungkan dalam gereja itu. Dengan kata lain hukuman yang dikenakan kepada seseorang warga yang bersalah adalah dimaksudkan untuk memperbaiki  dan memperbaharui kehidupannya. Sekaligus untuk menghindarkan bahaya penularan dari dosa  yang dilakukannya kepada gereja itu sendiri.[6]

2. Gereja HKBP  dengan Aturan Penggembalaan dan Disiplin Gerejanya

            Sejak tahun 1952 , HKBP telah memiliki Aturan pengembalaan dan Disiplin Gereja, akan tetapi pada saat itu Aturan Pengembalaan dan disiplin Gereja ini masih hanya sebatas aturan siasat Gereja (Hukum Siasat Gereja). Karena pada saat itu Hukum Siasat Gereja ditujukan hanya untuk menghakimi jemaat yang masih mau mengikuti tradisi-tradisi ”hasipelebeguon” (suatu istilah yang ditujukan kepada para penyembah roh-roh nenek moyang), atau yang mempercayai agama-agama lain selain Kristen Protestan dan lain-lain. Gereja menjalankan RPP ini sebagai tindak tegas kepada jemaat yang mencemari dirinya dengan kebiasaan-kebiasan yang tidak sesuai dengan yang diinginkan gereja pada saat itu.
Di dalam perjalanannya RPP ini dipandang tidak lagi sesuai dengan pergumulan gereja, persebaran jemaat semakin luas dan persoalan-persoalan yang dihadapi pun semakin beragam, oleh karena itu RPP dipandang perlu untuk ditinjau ulang. Sinode Agung tahun 1984 merekomendasikan pembentukan satu komisi RPP untuk meninjau ulang dan menyempurnakan konsep-konsep RPP yang pada saat itu sudah mulai tidak up to date kepada pergumulan gereja. Komisi ini sendiri beranggotakan unsur Praeses, unsur Pendeta, unsur Guru Jemaat,  Bibelvrow dan unsur Sintua (Majelis jemaat). Penyempurnaan itu sendiri menggunakan buku atau Aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja yang lama,  Konsep Aturan Pengembalaan  dan Disiplin Gereja  Tahun 1976 , keputusan-keputusan  Seminar  Hukum Siasat Gereja-Gereja se-Sumatra Utara pada tahun 1982, Aturan dan Peraturan HKBP 1982 – 1992 demikian juga usul-usul dari Ressort-ressort yang telah dikumpulkan di Sinode Agung, usul-usul dari Rapat Pendeta Distrik  sampai Rapat Pendeta tahun 1983 dan 1985 dan beberapa hasil dari diskusi  yang dilakukan oleh komisi ini di 4 tempat pelayanan yang dianggab mewakili tempat-tempat lainnya yaitu Sibolga, Sidikalang, Medan dan Jakarta.
Hasil dari rapat-rapat komisi RPP ini kemudian menghasilkan sesuatu yang baru dimana aturan yang tadinya hanyalah sebatas Hukum Siasat Gereja  dirubah menjadi Aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja (Ruhut-ruhut Parmahanion dohot Paminsangon di HKBP).  Perubahan ini ditujukan supaya supaya aturan-aturan disiplin gereja itu tidak hanya lagi sebatas  Hukum Siasat  (vonis terhadap kesalahan dan pelanggaran jemaat) akan tetapi menjadi aturan untuk pengembalaan untuk pengajaran, serta pemulihan persoalan-persoalan dan pergumulan jemaat. Hasil  rumusan komisi ini kemudian dibawa kembali ke rapat komisi yang terakhir di STT HKBP Pematang Siantar pada tanggal 16 – 17 Januari 1987  sebelum dibawa ke Sinode Agung HKBP tahun 1987 konsep ini kemudian diterima dan akhirnya ditetapkan di Rapat Pendeta Hatopan 1987, setelah disosialisasikan di rapat-rapat pendeta distrik tahun itu juga.[7] Ini masih perjalanan awal dari  aturan penggembalan dan disiplin gereja. dan ini  masih dalam kaitan perubahan nama. Perubahan ke arah penyempurnaan pun terus berlanjut. Dengan pemahaman bahwa di jaman sekarang RPP itu bukan lagi hanya sebatas disiplin gereja, melainkan juga mencakup pengembalaan jemaat yang tidak hanya digunakan hanya sebatas sesudah jemaat itu dikenakan sanksi gerejani maka RPP diharapkan juga bisa hadir di dalam mendidik jemaat memahami pergumulan rohani dan iman jemaat yang mampu menjawab persoalan jaman ini. Pada tahun ...............HKBP kembali mengangkat Tim RPP untuk kembali meninjau ulang demi penyempurnaan RPP sehingga RPP HKBP semakin up to date untuk menjawab pergumulan-pergumulan jemaat.

Menangkap kesempatan ini pulalah maka Tim RPP HKBP yang diangkat dan dipersiapkan untuk Rapat Pendeta HKBP 2003 mengeluarkan ide penyempurnaan yang baru dengan menekankan:[8]
a.   Mempertegas fungsi dari RPP itu sendiri demi mencegah pengertian yang  menekankan penghukuman, akan tetapi sebaliknya RPP haruslah lebih mengarah kepada penekanan fungsi pembinaan (panogunoguon), Pengarahan (sijagahonohon) dan tegurannya (Sipaingothon). Jadi  fungsi Penghukuman (Paminsangon) dan  pengeluaran (Pabalihonon) nya menjadi unsur yang terakhir.
b.   RPP juga hendaknya memuat ketentuan menyangkut kasus-kasus aktual. Dan sebaliknya tentang kesalahan-kesalahan yang seharusnya dikenakan disiplin gereja sebaiknya disederhanakan.

Dengan pembaharuan dan penyempurnaan-penyempurnaan ini maka RPP yang pada awalnya cenderung menjadi ”media dan organ kekerasan terhadap umat” telah menjadi ”media pendidikan dan pengetahuan” jemaat, sekurangnya menurut penulis sendiri. Akan tetapi itu juga dikembalikan kepada pelaksana RPP itu, bagaimana hamba-hamba  Tuhan memakai dan menerapkan RPP itu ditengah-tengah jemaat. Apakah majelis itu memakai RPP itu untuk mengajar dan mendidik jemaatnya, jauh sebelum jemaat itu menyimpang dari kebenaran imannya sehingga kedamaian bisa terjadi. Atau sebaliknya, RPP itu digunakan hanya setelah jemaat itu melanggar atau melakukan sesuatu perbuatan yang menyimpang dari ajaran gereja itu sehingga hanya kekerasanlah yang dimunculkan!


Persoalan yang muncul adalah ketika jemaat itu sendiri tidak mengenal baik point-point Aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja tersebut.  Apa yang diperkenankan dan apa yang diharapakan untuk dijauhi.

3. Analisis Kritis  Terhadap Pelaksanaan Disiplin

Gereja HKBP mempunyai aturan dan peraturan tersendiri di dalam pengembalaan dan pelaksanaan disiplin gerejanya. Aturan penggembalaan dan disiplin gereja ini sering disebut dengan istilah RPP (Ruhut-ruhut Parmahanion dohot Paminsangon) artinya Aturan-aturan untuk Penggembalaan dan Disiplin Gereja.  Aturan-aturan ini sengaja dibuat untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di dalam praktek kehidupan iman jemaat. Aturan-aturan yang dibuat untuk menjaga kekudusan persekutuan jemaat. Sebagaimana Kristus yang kudus, Tuhan juga menginginkan  agar gerejanya juga menjaga kekudusannya. Dengan tujuan yang sangat mulia ini sebenarnya aturan penggembalaan dan disiplin gereja itu adalah sangat baik akan tetapi di dalam kenyataannya masih banyak jemaat yang mengganggap bahwa disiplin gereja itu adalah sebuah beban bahkan sumber konflik dan ”senjata kekerasan” gereja terhadap jemaat. Benarkah demikian?
Pendapat demikian bisa saja muncul, karena di dalam prakteknya seringkali gereja memakai RPP ini hanya untuk menghukum jemaat yang melanggar tanpa mengadakan tindakan penggembalaan yang baik sebelumnya atau sesudahnya. Seringkali juga gereja atau para penatua memakai RPP ini untuk menyingkirkan jemaat lainnya. Atau bahkan seringkali pelaksanaan RPP malah menimbulkan konflik baru ditengah-tengah jemaat bahkan sampai kepada perpecahan jemaat

Di mata jemaat  bahkan kaum rohaniawan HKBP, fungsi dan peranan serta pelaksaaan RPP HKBP ini bisa beragam dan bermacam-macam. Banyak jemaat yang menganggab RPP itu sebagai undang-undang yang diaturkan untuk menghukum jemaat yang melanggar berbagai penjelasan-penjelasan yang ada di dalamnya, terlebih-lebih kalau dikaji dengan istilah ”dipabali” yaitu istilah yang dulu paling sering digunakan untuk orang yang dijatuhi RPP. Dipabali berarti ”dikeluarkan” dari persekutuan dengan konsekwensinya tidak boleh menerima sakramen demikian juga beberapa pelayanan khusus lainnya. Jemaat-jemaat tua yang tidak mengikuti perkembangan dan penyempurnaan RPP itu sendiri akan selalu berpikir dengan menempatkan RPP itu sebagai hukuman atau senjata untuk menghakimi dan menghukum para terdakwa (jemaatnya yang melanggar)[9].  Di sisi lain ada juga jemaat  yang  merasa bahwa pelaksanaan RPP itu berlebihan, seolah-olah gereja tidak mempunyai kasih dan pengampunan, suatu tindakan saling mempermalukan dan memperbesar-besar dosa dan kesalahan. Pemikiran ini sah-sah saja, terlebih-lebih kalau kita melihat bahwa sumber keberatan dan protes itu berasal dari orang-orang yang berada di luar gereja atau dari jemaat yang memang kurang memberi perhatiannya ke gereja. Akan tetapi kita juga tidak menutup kemungkinan terhadap kebanaran yang terkandung dari protes dan keberatan itu.   Terkadang gereja juga terlalu cepat melakukan keputusan untuk melakukan disiplin gereja kepada seseorang jemaat yang dianggab bersalah  tanpa ada pelayanan pengembalaan sebelumnya.

Ada beberapa hal yang sering terjadi di dalam menjalakan RPP,   dalam kaitannya dengan praktek-praktek  kekerasan:[10]
a.      Ketika majelis atau Hamba Tuhan  yang menjalankan RPP itu kurang memberikan dirinya dan hatinya sebagai  gembala untuk  memperbaiki dan memulihkan  rohani orang yang melakukan kesalahan itu, akan tetapi sebaliknya ia hadir sebagai hakim yang menjatuhkan hukuman saja maka disitu kita akan menemukan kekerasan karena sesungguhnya RPP itu ditujukan untuk menggembalakan orang-orang yang bersalah sehingga kembali ke jalan yang benar.
b.      Ketika RPP itu dijatuhkan dengan seenaknya saja tanpa pertimbangan akan bukti-bukti yang cukup dan matang, maka disitupun sedang terjadi kekerasan. Seharusnya keputusan diambil tidak hanya berdasarkan isu-isu atau kata-kata orang saja melainkan juga mempertimbangkan keterangan langsung dari pelanggar, dan bukti-bukti akurat lainnya.
c.       Ketika RPP itu dijalankan dengan tidak adil,  pilih-pilih kasih, maka disitupun sedang terjadi pratek-praktek kekerasan.  RPP harus diberlakukan secara sama dan adil kepada setiap jemaat tanpa harus membedabedakan apakah itu keluarga, anggota keluarga atau kerabat dekat.
d.      Kekerasan lain yang boleh muncul adalah ketika RPP dipakai sebagai alat untuk membalas dendam atau untuk mempermalukan orang lain. Orang yang sudah jatuh ke dalam dosa itu janganlah kiranya ditambahkan lagi dengan beban yang berat, dengan sengaja mempermalukan mereka atau merendahkan harga dirinya.
e.       Kekerasan lainnya yang seringkali muncul adalah kurangnya pengembalaan dan pembinaan lanjutan kepada orang yang telah dijatuhi hukuman siasat gereja itu. Seringkali majelis atau hamba Tuhan yang menjalankan hukum siasat gereja itu lupa akan fungsi RPP lainnya yaitu untuk pengembalaan jemaat.

Akan tetapi kejadian-kejadian itu tidak perlu terjadi kalau orang-orang yang menjalankan RPP itu bersikap bijaksana dan arif di dalam menerapkan aturan penggembaalaan dan disiplin gereja tersebut karena sesungguhnya memang RPP itu dibuat dengan maksud dan tujuan yang baik. Di dalamnya terkandung makna kedamaian yang sangat mendalam dimana penyadaran dan keselamatan sedang diperjuangkan untuk membawa kembali orang yang bersalah itu menyadari kesalahannya serta membuat keputusan untuk kembali kepada kebenaran Tuhan dan berani bertanggungjawab untuk segala kesalahannya.
Dengan RPP sesungguhnya gereja bisa berperan aktif memberikan pengajaran dan pembelajaran kepada jemaat terhadap dampak dan konsekwensi segala perbuatan kita.  Dengan aturan pengembalaan dan disiplin gereja ini, Gereja bisa lebih baik mengkomunikasikan dirinya sebagai institusi yang menjaga ketertiban hidup jemaat, sehingga jemaat tidak lagi berbuat sesuka hatinya saja. RPP dengan sendiri akan memagari tingkah laku dan perbuatan jemaat sehingga jemaat hidup dan berperilaku sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.
Ketika Gereja mengaturkan disiplin gereja dengan berbagai penggembalaan sebelum dan sesudahnya maka jemaat bisa mengetahui banyak tentang apa yang baik dan bisa dilakukan dengan apa yang tidak baik yang harus dihindari. Dengan demikian setiap jemaat dimampukan untuk mengawasi dirinya sendiri.


IV. Refleksi

Kita akui atau tidak, gereja sebagaimana juga agama sering sekali mengekspresikan atau mengandung kekerasan, gereja bahkan berpotensi untuk melakukan keduanya, berpotensi untuk menjaga dan menegakan kedamaian akan tetapi juga berpotensi menjadi pelaku-pelaku kekerasan.[11] Potensi ini telah terjadi berkali-kali di dalam sejarah gereja. Gereja di dalam sejarahnya telah berkali-kali salah di dalam menerapkan disiplin dan aturannya sehingga telah menimbulkan korban. Masih segar di dalam ingatan kita bagaimana para tokoh-tokoh “yang memprotes kemapanan gereja” menerima inkuisisi (pengucilan) dari gereja formal yang berkuasa pada saat itu,  bahkan kecenderugan untuk “dilenyapkan”. Masih juga kita bisa mendengarkan dan menyaksikan di berbagai tempat ada  penatua – penatua atau hamba Tuhan tertentu yang harus dipecat dan dipensiunkan dari tugasnya hanya karena peraturan gereja, meskipun  kerinduan mereka untuk  melayani Tuhan masih menggebu-gebu.
Melaksanakan disiplin, bagi  gereja itu sama seperti memakan buah simalakama, “dijalankan dengan tegas dan benar” ada orang-orang yang keberatan bahkan terkadang mengganggabnya sebagai kekerasan akan tetapi sebaliknya ”kalau tidak dijalankan” berarti gereja itu membiarkan dosa itu tinggal dan menjalar ditengah-tengah kehidupan jemaat. Dalam hal inil gereja sangat diharapkan betul-betul bijaksana untuk memilah apa yang layak untuk digembalakan dan apa yang layak untuk dikenakan disiplin (RPP). Demikian juga dengan pemilihan bentuk penggembalaan dan disiplin yang akan dilaksanakan.  Gereja tidak lagi hadir sebagai hakim akan tetapi sebagai Kristus yang hadir sebagai gembala yang  menyembuhkan, memulihkan dan  mendamaikan dan menyelamatkan demikianlah kehadiran gereja ditengah-tengah dunia dan kehidupan jemaatnya.  Kasih Karunia Allah di dalam Yesus Kristus itu haruslah direspon gereja dengan baik, sebagaimana yang dikatakan oleh Alan Kreider, Eleanor Kreider dan Paulus Wijaya di dalam buku mereka “A Culture of Peace”:[12]
-         Allah  telah  mengampuni kita, oleh karena itu kita juga  terpanggil untuk hidup di dalam pengmpunan. Sebagaimana yang dikatakan di dalam firman Tuhan “Ampunilah kami, seperti kami telah mengampuni orang yan berdosa kepada kami” (Matius 6 : 12).
-         Allah telah mendamaikan kita dengan Allah, oleh karena itu kita juga haruslah berdamai dengan musuh-musuh kita. Dan kita juga haruslah membawa pelayanan perdamaian (2 Korintus 5 ; 18). Jadi pelayanan peerdamaian itu adalah satu bentuk pelayanan harusnya dibawa gereja di dalam mengatasi segala pesoalan yang ada di jemaat.
-         Allah telah memberikan DamaiNya kepada kita, oleh karena itu kita harus menjadi pembawa damai. “berbahagilah orang-orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut sebagai anak-anak Allah” (Matius 5 : 10)



Gereja sebagai Pembawa Damai
Berkaitan peran Gereja sebagai Pembawa Damai,  maka firman dan aturannya hendaknya jugalah sebagai yang membawa damai................
Agama pada bentuk terbaiknya  sesungguhnya memiliki kemampuan untuk meredakan, mengusai dan menahan kecenderungan tindak kekerasan manusia

V.   Rencana Teknis

            Memahami apa yang menjadi pergumulan jemaat tentang pelaksanaan RPP ditengah-tengah gereja maka kami melihat :
1.   Pentingnya sosialisasi yang lebih banyak dari pihak gereja apakah melalui warta atau buletin-buletin Gereja demikian juga melalui Khotbah dan PWG atau Katekisasi.


VI.  Kepustakaan

1.   B.H. Situmorang, “Pengertian Disiplin Dalam Perjanjian Baru” dalam Journal Pemikiran Teologi STT HKBP, Vocatio Dei : Teologi dan Disiplin,  Ed. 41 April 1996,  STT HKBP,Pematang Siantar, 1996
2.   David S. Schaff, “ Discipline (Christian) “ dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. IV, : Charles Scribner’s sons, New York, 1955.
3.   Johanes Calcin,  Institutio, Pengajaran Agama Kristen,  BPK Gunung Mulia,  Jakarta , 1985.
4.   HKBP, Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangion di HKBP,  Kantor Pusat HKBP, Pearaja Tarutung, ttp 
5.   Ahmad Norma Permata,   Agama dan Terorisme,  Muhamadiyah University Press, Surakarta, 2005
6.   HKBP ,  Notulen Rapat Pendeta Huria Kristen Batak Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003, Kantor Pusat  HKBP,  Pearaja Tarutung,  2003
7.   Alan Kreider, Eleanor Kreider dan Paulus Wijay,  A Culture of Peace : God’s Vision for The Church, Published in cooperation Mennonite World Conference : Good Books, USA, 2005


[1] RPP adalah singkatan dari Ruhut-Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon, artinya adalah Aturan-aturan Pengembalaan dan Disiplin Gereja di HKBP
[2]   Lokasi Batu Hobon adalah satu lokasi yang sering dijadikan tempat untuk acara-acara Hasipelebeguon. Di tempat it ada sebuah batu yang ssangat unit dimana batu yang besar itu seolah-olah ada penutupnya. Batu ini dimitoskan sebagai batu yang mempunyai ruang ditengah-tengahnya tempat Tuan Saribu Raja dulu menyimpan perkakas-perkakasnya yang sangat berharga sebelum ia meninggalkan tempat itu dan merantau ke negeri yang jauh-jauh.
[3]   B.H. Situmorang, “Pengertian Disiplin Dalam Perjanjian Baru” dalam Journal Pemikiran Teologi STT HKBP, Vocatio Dei : Teologi dan Disiplin,  Ed. 41 April 1996, (Pematang Siantar : STT HKBP, 1996)  hlm. 10
[4]   David S. Schaff, “ Discipline (Christian) “ dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. IV, (Nem York : Charles Scribner’s sons, 1955), hlm. 715
[5]   Johanes Calcin, Institutio, Pengajaran Agama Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1985) hlm. 218.
[6]   David S. Schaff, “ Discipline (Christian) “ dlm James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion, hlm. 715.
[7]   HKBP, Ruhut Parmahanion Dohot Paminsangion di HKBP, (Pearaja, Tarutung: HKBP, ttp), hlm. 5 – 6 
[8]   HKBP, Notulen Rapat Pendeta Huria Kristen Batak Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003., hlm. 361 -362.  Ide penyempurnaan ini kemudian disambut baik oleh para peserta sinode dan di dalam rapat –rapat komisinya kemudian nyatalah bahwa kerinduan untuk menjadikan media RPP sebagai media yang mendidik jemaat semakin membaik. Peserta mengusulkan banyak topik-topik yang bersifat mendidik untuk dimasukkan di dalam rumusan konsep RPP yang akan disempurnakan, diantaranya adalah rumusan tentang  tanggapan gereja tentang hak-hak individu seperti : euthanasia, transplantasi organ tubuh, cloning, demikian juga tanggapan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan penyakit-penyakit sosial seperti : HIV/AIDS, pornografi, komersialisasi sex, judi dan lain-lain. Termasuk juga di dalamnya usulan yang menekankan peran gereja sebagai intitusi yang mempunyai tanggungjawab moral kepada pemerintah, pengusaha atau institusi tertentu atas kebijakan dan kegiiatan ekonomi yang dapat merusak  kehidupan masyarakat dan kesatuan bangsa , secara khusus menyangkut kerusakan lingkungan. Dalam rancangan konsep RPP pembaruan in diharapkan gereja bisa berperan aktif  untuk bisa lebih banyak lagi di dalam peran pastoralnya bukanhanya untuk jemaatnya saja akantetapi juga pelayanan pastoralnya keluar. Demikian juga di dalam kaitannya dengan adat dan  budaya, gereja diharapkan bisa lebih jelas melihat dampak sosial yang ditimbulkan sehingga gereja bisa lebih bijaksana untuk menghadapi secara kasus per kasus.
Tidak hanya sampai disitu, konsep RPP ini juga semakin memberikan penegasan kepada berbagai kecenderungan yang mendorong manusia atau masyarakat untuk melakukan perbuatan tercela diantaranya kecenderungan masyarakat yang materialisme, konsumerisme, kapitalisme, Hedonisme, fatalisme dan perusakan lingkungan.

[9]   Bnd. HKBP , Notulen Rapat Pendeta Huria Kristen Batak Protestan 8 s/d 13 Sepetember 2003, (Pearaja Tarutung 2003), hlm. 120 - 121
[10] Bnd. HKBP, Ruhut Parmahanion  Dohot Paminsangion di HKBP…,,  hlm. 10
[11] Bnd. Ahmad Norma Permata, Agama dan Terorisme, (Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2005), hlm. 192.
[12] Alan Kreider, Eleanor Kreider dan Paulus Wijay,  A Culture of Peace : God’s Vision for The Church, (USA : Published in cooperation Mennonite World Conference : Good Books, 2005, ) hlm.  26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar